Pelajaran dari segelas kopi
Posted 5 Mei 2017
on:Kali ini saya mau membagikan sebuah kisah inspiratif, dan semoga kita semua dapat memperoleh hikmah dari kisah ini. selamat membaca….
PADA ZAMAN DAHULU……
Kyai : Tolong buatkan kopi dua gelas untuk kita berdua, tapi gulanya jangan engkau tuang dulu, bawa saja ke mari beserta wadahnya.
Santri : Baik, kyai.
Tidak berapa lama, sang santri sudah membawa dua gelas kopi yang masih hangat dan gula di dalam wadahnya beserta sendok kecil.
Kyai : Cobalah kamu rasakan kopimu nak , bagaimana rasa kopimu?
Santri : rasanya sangat pahit sekali kyai
Kyai : Tuangkanlah sesendok gula, aduklah, bagaimana rasanya?
Santri : Rasa pahitnya sudah mulai berkurang, kyai.
Kyai : Tuangkanlah sesendok gula lagi, aduklah, bagaimana rasanya?
Santri : Rasa pahitnya sudah berkurang banyak, kyai.
Kyai : Tuangkanlah sesendok gula lagi, aduklah, bagaimana rasanya?
Santri : Rasa manis mulai terasa tapi rasa pahit juga masih sedikit terasa, kyai.
Kyai : Tuangkanlah sesendok gula lagi, aduklah, bagaimana rasanya?
Santri : Rasa pahit kopi sudah tidak terasa, yang ada rasa manis, kyai.
Kyai : Tuangkanlah sesendok gula lagi, aduklah, bagaimana rasanya?
Santri : sangat manis sekali, kyai.
Hukum 72
Posted 13 Februari 2011
on:- In: Perencanaan
- 1 Comment
Jika anda ingin mengetahui kapan investasi anda akan bernilai 2x lipat dari nilai investasi awal anda dapat mengunakan hukum 72. Sebagai contoh, bila Anda menginvestasikan Rp 1 juta pada deposito yang memberikan suku bunga 12% per tahun (di roll over setiap tahun), maka uang Rp 1 juta Anda akan berlipat dua dalam waktu enam tahun.
Penerapan Prinsip Syariah di APBN
Posted 8 Februari 2011
on:- In: Ekonomi | Perencanaan | Syariah
- 1 Comment
Penulis : Dr. Fahmi Amhar (anggota Lajnah Maslahiyah DPP Hizbut Tahrir Indonesia)
Sumber : jurnal-ekonomi.org
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara Indonesia yang disetujui oleh DPR. APBN berisi daftar sistematis dan terperinci yang memuat rencana penerimaan dan pengeluaran negara selama satu tahun anggaran. Setiap APBN di buat dan di tetapkan selalu timbul pro dan kontra, Suatu artikel yang saya dapat dari situs Jurnal-ekonomi.org memberi suatu alternatif lain untuk menyusun APBN secara syariah . Dari sisi penerimaan apakah pajak akan terus menjadi pilar APBN? Lalu dari sisi pengeluaran apakah pembayaran pokok dan cicilan hutang masih akan mendominasi di samping pos subsidi?
Untuk dapat menjawab persoalan ini ada tiga pendekatan yang harus dilakukan:
Pertama, yang dihitung dahulu adalah pengeluaran berdasarkan asumsi-asumsi kebutuhan dari yang menurut syariah paling vital dan urgen ke yang hanya bersifat pelengkap. Untuk menghitung pos pengeluaran digunakan rasio-rasio ideal berdasarkan data wilayah dan kependudukan, proyeksi siklus jangka panjang dan menengah, serta harga pasar rata-rata saat ini. Dalam kitab Nizhamul Iqtishady fil Islam dari Imam Taqiyyudin an-Nabhani, dinyatakan bahwa pengeluaran Kas Negara (Baitul Maal) ditetapkan berdasarkan enam kaidah:
(1) Harta yang menjadi kas tersendiri Baitul Maal, yaitu harta zakat. Harta ini hanya dibelanjakan ke delapan ashnaf kalau memang kasnya terisi. Bila di Baitul Maal harta zakat sudah habis, maka tidak ada seorangpun dari delapan ashnaf itu yang berhak mendapatkannya lagi, dan tidak akan dicarikan pinjaman untuk itu.
(2) Pembelanjaan yang sifatnya wajib, yaitu manakala terjadi kekurangan (fakir miskin atau ibnu sabil) atau untuk melaksanakan jihad. Ini bersifat pasti, bila tidak ada dan dikhawatirkan akan terjadi kerusakan maka negara dapat meminjam harta dan setelah itu dilunasi dan bila perlu dapat menarik pajak.
(3) Pembelanjaan yang sifatnya kompensasi yakni bagi orang-orang yang telah memberikan jasa, misalnya gaji para tentara, pegawai negeri, hakim, guru dan sebagainya. Ini juga bersifat pasti.
(4) Pembelanjaan karena unsur keterpaksaan, semisal ada bencana alam atau serangan musuh. Ini juga bersifat pasti.
(5) Pembelanjaan untuk suatu kemaslahatan, bukan untuk kompensasi, namun sifatnya vital, karena bila tidak ada, umat akan mengalami kesulitan, seperti pembangunan infrastruktur. Ini juga bersifat pasti.
(6) Pembelanjaan untuk suatu kemaslahatan hanya saja bila tidak ada umat tidak sampai menderita, misalnya pembangunan fasilitas hiburan, atau adanya fasilitas umum sekunder ketika fasilitas yang lama masih memadai.
Kampoeng Kurma (Kavling Produktif)
LEBIH STRATEGIS…LEBIH EKSOTIS…LEBIH DINAMIS…TAPI TIDAK KAPITALIS…
Adapun data dasar wilayah dan kependudukan yang digunakan antara lain:
Jumlah penduduk | 230,000,000 |
Luas wilayah darat (Km2) | 1,900,000 |
Luas wilayah laut (Km2) | 5,800,000 |
Panjang garis batas (Km) | 15,000 |
Jumlah satuan administrasi level Kabupaten | 33 |
Jumlah satuan administrasi level Kabupaten | 480 |
Jumlah satuan administrasi level Kecamatan | 6,000 |
Jumlah satuan administrasi level Desa/Kelurahan | 70,000 |
Sedang untuk rasio-rasio kebutuhan digunakan asumsi-asumsi yang cukup ideal sebagai berikut:
Pos Santunan Fakir Miskin
asumsi prosentase penduduk miskin (fakir miskin) | 50% |
asumsi kebutuhan nutrisi per orang per hari (gram) | 600 |
asumi harga pangan per-kg | Rp 10,000 |
Pos Pendidikan
Jumlah siswa sekolah (usia 5-19 th) | 60,000,000 |
rasio guru:siswa = 1: | 20 |
rasio sekolah:siswa= 1: | 300 |
asumsi rata-rata gaji guru per bulan | Rp. 5,000,000 |
asumsi biaya operasional sekolah per bulan (ke-TU-an, cleaning, buku, dll) | Rp 25,000,000 |
rasio lulusan SMA ke Pendidikan Tinggi = 1: | 10 |
rasio dosen:mahasiswa = 1: | 10 |
rasio perguruan tinggi : mahasiswa = 1: | 1,000 |
asumsi biaya operasional perguruan tinggi per bulan (ke-TU-an, cleaning, buku, lab dll) | Rp 250,000,000 |
Pos Kesehatan
Rasio dokter:penduduk = 1: | 1,000 |
Rasio rumah sakit:penduduk = 1: | 10,000 |
Rasio rumah sakit: desa = 1: | 3.0 |
Asumsi gaji dokter per bulan | Rp 7,500,000 |
Asumsi operasional tiap rumah sakit per bulan | Rp 225,000,000 |
Pos Pertahanan & Keamanan
Rasio tentara dengan garis perbatasan 1 km = | 25 |
Rasio polisi dengan jumlah penduduk = 1: | 1,000 |
Rasio kapal penjaga perbatasan 1 kapal = [km] | 25 |
Rasio pesawat militer untuk menjaga area 1 pesawat = [km2] |
40,000 |
Asumsi gaji tentara/polisi / bulan | Rp 7,500,000 |
Asumsi operasional markas tentara / bulan (hanya ada satu di tiap provinsi) |
Rp 1,500,000,000 |
Asumsi operasional markas polisi / bulan (ada di tiap kecamatan) |
Rp 105,000,000 |
Pos Pemerintahan & Keadilan
Rasio aparat administrasi pemerintahan : penduduk yang dibutuhkan = 1: | 1,000 |
Rasio aparat peradilan : penduduk = 1: | 1,000 |
Asumsi rata-rata gaji aparat pemerintahan & peradilan | Rp 7,500,000 |
Asumsi rata-rata operasional kantor pemerintahan & peradilan / bulan | Rp 33,000,000 |
Pos Infrastruktur & Fasilitas Umum Vital
Siklus perbaikan menyeluruh transportasi setiap | 10 tahun |
Siklus perbaikan menyeluruh fasum lainnya | 20 tahun |
Infrastruktur data meliputi aktivitas riset, sensus, pemetaan, pembangunan jejaring ICT | 20 tahun |
Infrastruktur energi meliputi pembangunan instalasi migas, pipa, PLTGU, PLTN, dan jaringan listrik | 20 tahun |
Infrastuktur pangan meliputi pembangunan pabrik pupuk, irigasi, dan pengolahan pasca panen | 20 tahun |
Infrastruktur pertahanan meliputi kendaraan tempur angkatan darat, laut dan udara berikut alutsista | 20 tahun |
Pos Cadangan Bencana terhadap APBN 5%
Pos Cadangan Maslahat non Vital 2%
Dari semua pos ini kemudian dihitung besaran-besaran makro dan menghasilkan angka dalam Tabel APBN.
Kedua, pos penerimaan disusun berdasarkan pos-pos yang ditetapkan syariah. Dalam kitab Al Amwal fi Daulah Khilafah Abdul Qadim Zallum menyatakan bahwa pos pendapatan negara terdiri dari tiga bagian:
(1) Bagian Fai dan Kharaj. Penerimaan ini meliputi:
- Ghanimah, mencakup anfal, fa’i dan khumus, yakni pampasan perang.
- Kharaj, yakni pajak bumi yang dahulu dibebaskan kaum muslimin dengan jihad. Besaran kharaj ini ditetapkan khalifah berdasarkan potensi hasil bumi tersebut.
- Sewa tanah-tanah milik negara.
- Jizyah, yakni pajak dari warga non muslim yang dewasa dan berada, karena mereka tak terkena kewajiban zakat, jihad maupun pajak bila ada.
- Fai, yakni pemasukan dari barang temuan, waris yang tak ada pewarisnya, harta sitaan dsb.
- Pajak yang hanya ditarik insidental dari warga muslim yang berada.
Seperti dapat dilihat bahwa pos penerimaan pada bagian ini sifatnya tidak menentu, dan idealnya tidak perlu ada. Bila dakwah dapat berhasil dengan damai, maka tidak perlu perang sehingga tak ada ghanimah, dan tujuan perang itu sendiri memang tidak untuk mendapatkan ghanimah. Kemudian karena Indonesia secara umum masuk Islam tanpa penaklukan, maka penerimaan negara dari kharaj ini di Indonesia juga kurang relevan. Tanah milik negara bila perlu dapat dibagikan ke warga yang kekurangan, tanpa sewa. Jizyah akan hilang ketika warga non muslim masuk Islam, dan itu tidak boleh dihalang-halangi. Barang temuan atau waris justru harus dicarikan siapa yang berhak. Dan pajak hanya ditarik insidental kalau kas baitul maal terancam kosong padahal ada kebutuhan yang bersifat pasti
Pengertian Upah dalam Konsep Islam
Posted 20 Juni 2009
on:- In: Syariah
- 5 Comments
Author : Hendri Tanjung
Site : www.pusatartikel.com
Upah menurut pengertian Barat terkait dengan pemberian imbalan kepada pekerja tidak tetap, atau tenaga buruh lepas, seperti upah buruh lepas di perkebunan kelapa sawit, upah pekerja bangunan yang dibayar mingguan atau bahkan harian. Sedangkan gaji menurut pengertian Barat terkait dengan imbalan uang (finansial) yang diterima oleh karyawan atau pekerja tetap dan dibayarkan sebulan sekali. Sehingga dalam pengertian barat, Perbedaan gaji dan upah itu terletak pada Jenis karyawannya (Tetap atau tidak tetap) dan sistem pembayarannya (bulanan atau tidak). Meskipun titik berat antara upah dan gaji terletak pada jenis karyawannya apakah tetap ataukah tidak.
“Upah atau Gaji biasa, pokok atau minimum dan setiap emolumen tambahan yang dibayarkan langsung atau tidak langsung, apakah dalam bentuk uang tunai atau barang, oleh pengusaha kepada pekerja dalam kaitan dengan hubungan kerja” (Konvensi ILO nomor 100).2
Menurut Dewan Penelitian Perupahan Nasional : Upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pemberi kepada penerima kerja untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah dan akan dilakukan, berfungsi sebagai jaminan kelangsungan hidup yang layak bagi kemanusiaan dan produksi, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut suatu persetujuan, undang-undang dan peraturan dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pemberi dan penerima kerja.3
Dalam hal perbedaan pengertian upah dan gaji menurut konsep Barat di atas, maka Islam menggariskan upah dan gaji lebih komprehensif dari pada Barat.
Allah menegaskan tentang imbalan ini dalam Qur’an sbb :
“Dan katakanlah : “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu’min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah Yang Mengetahui akan ghaib dan yang nyata, lalu diberikan-Nya kepada kamu apa yang kamu kerjakan.” (At Taubah : 105).
Dalam menafsirkan At Taubah ayat 105 ini, Quraish Shihab menjelaskan dalam kitabnya Tafsir Al-Misbah sbb :
“Bekerjalah Kamu, demi karena Allah semata dengan aneka amal yang saleh dan bermanfaat, baik untuk diri kamu maupun untuk masyarakat umum, maka Allah akan melihat yakni menilai dan memberi ganjaran amal kamu itu”4
Tafsir dari melihat dalam keterangan diatas adalah menilai dan memberi ganjaran terhadap amal-amal itu. Sebutan lain daripada ganjaran adalah imbalan atau upah atau compensation.
“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik apa yang telah mereka kerjakan.” (An Nahl : 97).
Dalam menafsirkan At Nahl ayat 97 ini, Quraish Shihab menjelaskan dalam kitabnya Tafsir Al-Misbah sbb :
“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, apapun jenis kelaminnya, baik laki-laki maupun perempuan, sedang dia adalah mukmin yakni amal yang dilakukannya lahir atas dorongan keimanan yang shahih, maka sesungguhnya pasti akan kami berikan kepadanya masing-masing kehidupan yang baik di dunia ini dan sesungguhnya akan kami berikan balasan kepada mereka semua di dunia dan di akherat dengan pahala yang lebih baik dan berlipat ganda dari apa yang telah mereka kerjakan“.5
Tafsir dari balasan dalam keterangan d iatas adalah balasan di dunia dan di akherat. Ayat ini menegaskan bahwa balasan atau imbalan bagi mereka yang beramal saleh adalah imbalan dunia dan imbalan akherat. Amal Saleh sendiri oleh Syeikh Muhammad Abduh didefenisikan sebagai segala perbuatan yang berguna bagi pribadi, keluarga, kelompok dan manusia secara keseluruhan.6 Sementara menurut Syeikh Az-Zamakhsari, Amal Saleh adalah segala perbuatan yang sesuai dengan dalil akal, al-Qur’an dan atau Sunnah Nabi Muhammad Saw.7 Menurut Defenisi Muhammad Abduh dan Zamakhsari diatas, maka seorang yang bekerja pada suatu badan usaha (perusahaan) dapat dikategorikan sebagai amal saleh, dengan syarat perusahaannya tidak memproduksi/menjual atau mengusahakan barang-barang yang haram. Dengan demikian, maka seorang karyawan yang bekerja dengan benar, akan menerima dua imbalan, yaitu imbalan di dunia dan imbalan di akherat.
“Sesungguhnya mereka yang beriman dan beramal saleh tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya) dengan baik.” (Al Kahfi : 30).
Berdasarkan tiga ayat diatas, yaitu At-Taubah 105, An-Nahl 97 dan Al-Kahfi 30, maka Imbalan dalam konsep Islam menekankan pada dua aspek, yaitu dunia dan akherat. Tetapi hal yang paling penting, adalah bahwa penekanan kepada akherat itu lebih penting daripada penekanan terhadap dunia (dalam hal ini materi) sebagaimana semangat dan jiwa Al-Qur’an surat Al-Qhashsash ayat 77.
Surat At Taubah 105 menjelaskan bahwa Allah memerintahkan kita untuk bekerja, dan Allah pasti membalas semua apa yang telah kita kerjakan. Yang paling unik dalam ayat ini adalah penegasan Allah bahwa motivasi atau niat bekerja itu mestilah benar. Sebab kalau motivasi bekerja tidak benar, Allah akan membalas dengan cara memberi azab. Sebaliknya, kalau motivasi itu benar, maka Allah akan membalas pekerjaan itu dengan balasan yang lebih baik dari apa yang kita kerjakan (An-Nahl : 97).
Lebih jauh Surat An-Nahl : 97 menjelaskan bahwa tidak ada perbedaan gender dalam menerima upah / balasan dari Allah. Ayat ini menegaskan bahwa tidak ada diskriminasi upah dalam Islam, jika mereka mengerjakan pekerjaan yang sama. Hal yang menarik dari ayat ini, adalah balasan Allah langsung di dunia (kehidupan yang baik/rezeki yang halal) dan balasan di akherat (dalam bentuk pahala).
Sementara itu, Surat Al-Kahfi : 30 menegaskan bahwa balasan terhadap pekerjaan yang telah dilakukan manusia, pasti Allah balas dengan adil. Allah tidak akan berlaku zalim dengan cara menyia-nyiakan amal hamba-Nya. Konsep keadilan dalam upah inilah yang sangat mendominasi dalam setiap praktek yang pernah terjadi di negeri Islam.
Lebih lanjut kalau kita lihat hadits Rasulullah saw tentang upah yang diriwayatkan oleh Abu Dzar bahwa Rasulullah s.a.w bersabda :
“ Mereka (para budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah asuhanmu; sehingga barang siapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri); dan tidak membebankan pada mereka dengan tugas yang sangat berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti itu, maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya).” (HR. Muslim).8
Dari hadits ini dapat didefenisikan bahwa upah yang sifatnya materi (upah di dunia) mestilah terkait dengan keterjaminan dan ketercukupan pangan dan sandang. Perkataan : “harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri)” , bermakna bahwa upah yang diterima harus menjamin makan dan pakaian karyawan yang menerima upah.
Dalam hadits yang lain, diriwayatkan dari Mustawrid bin Syadad Rasulullah s.a.w bersabda :
“Siap yang menjadi pekerja bagi kita, hendaklah ia mencarikan isteri (untuknya); seorang pembantu bila tidak memilikinya, hendaklah ia mencarikannya untuk pembantunya. Bila ia tidak mempunyai tempat tinggal, hendaklah ia mencarikan tempat tinggal. Abu Bakar mengatakan: Diberitakan kepadaku bahwa Nabi Muhammad Saw. bersabda: “Siapa yang mengambil sikap selain itu, maka ia adalah seorang yang keterlaluan atau pencuri.” (HR. Abu Daud).9
Hadits ini menegaskan bahwa kebutuhan papan (tempat tinggal) merupakan kebutuhan azasi bagi para karyawan. Baca entri selengkapnya »
- In: Pemasaran | Perencanaan
- 1 Comment
Author: Sukardi Arifin
Spyros Makridakis, seorang Perancis, pernah mempunyai gagasan yang unik. Dia menggelar suatu kompetisi yang cukup menghabiskan tenaga dan melibatkan banyak orang. Sebagai seorang ahli statistic khususnya dalam hal forecasting, mudah ditebak bahwa kompetisi yang ia gelar ada hubungannya dengan forecasting. Singkatnya, tuan Makridakis ini tertarik untuk menguji keampuhan dari metode-metode forecasting yang sudah diformulasikan dan dipopulerkan oleh para ahli statistik, baik yang paling sederhana maupun yang sudah sangat kompleks. Tidak tanggung-tanggung, lebih dari 10 metode forecasting diikutsertakan dan sejumlah 1001 seri data yang diambil dari berbagai belahan dunia digunakan sebagai bahan penguji dan banyak ahli forecasting dari Amerika, Eropa dan Australia dimintai bantuan sebagai juri dalam kompetisi yang panjang dan melelehkan ini.
Banyak kesimpulan dan implikasi yang menarik bagi para praktisi dari kompetisi tersebut. Yang membuat para manajer sedikit “shock” dengan hasilnya adalah pertama, bahwa metode forecasting yang canggih seringkali tidak menghasilkan akurasi yang lebih baik dibandingkan dengan metode yang paling sederhana. Kedua, untuk data-data bisnis atau ekonomi yang sangat berfluktuasi dan tidak memiliki pola yang jelas, forecasting secara kualitatif seringkali memberikan hasil yang lebih baik dari pada hasil forecast secara kuantitatif.
Secara umum, implikasi dari kompetisi itu turut memberikan sumbangan untuk menyaringkan lonceng kematian metode forecast secara kuantitatif. Manager makin menyadari bahwa data-data penjualan yang diperoleh dari pasar atau dalam bisnis sudah tidak mengikuti aturan atau pola yang jelas. Akibatnya, kemampuan para manajer semakin lemah untuk melakukan ekstrapolasi walaupun dengan bantuan metode yang paling canggih sekalipun. Dan inilah juga awal kehancuran long-term planning yang sering didengungkan sebagai hal yang penting untuk dilakukan oleh suatu perusahaan bila ingin sukses. Jangankan membuat forecast penjualan untuk lima tahun kedepan seperti biasanya dalam long-term planning, hanya untuk membuat forecast satu tahun saja, keyakinan manajer sudah terkikis terhadap akurasi dari forecast yang dibuat.
Kondisi pasar saat ini, baik untuk industrial product maupun consumer product sudah terlalu kompleks. Terlalu banyak factor dari lingkungan bisnis yang mempengaruhi pasar, mulai dari peraturan pemerintah, perubahan teknologi, pengaruh globalisasi dan tingkat persaingan yang semakin tinggi. Sejak awal decade 90-an, terlihat sekali bahwa perubahan-perubahan yang terjadi kadang-kadang tidak bersifat incremental lagi tetapi juga sudah mengandung elemen surprising.
Peraturan pemerintah sering berganti-ganti, membuat manajer Indonesia sering mengeluh terutama dalam hal forecasting. Perubahan bea masuk atau perubahan dalam hal ekspor dan impor dapat mengubah kondisi pasar dan peta persaingan berubah dalam waktu sebulan. Dapat dibayangkan apa yang terjadi bila pemerintah misalnya menghancurkan semua bentuk proteksi dalam bidang otomotif ?
Lalu, masih perlukah manajer untuk melakukan forecasting? Pembuatan forecast sudah barang tentu masih diperlukan karena forecast tetap merupakan bagian dari strategic planning yang vital walaupun proses pembuatannya menjadi lebih sulit dan akurasinya dipertanyakan.